Tuesday, June 21, 2011

perintis TWI

Cita-cita Sang Pencinta Keberagaman Agama


Master Parulian Tumanggor [Pembaruan/Henry Sitinjak]

Bila berjalan-jalan ke Taman Wisata Iman di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, siapa pun, atau penganut agama apa pun, pasti akan terpesona. Di tempat itu, berbagai bangunan besar, simbol dari ajaran agama, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, berdiri megah di atas areal seluas 13 hektare di atas Bukit Sitinjo.

Di dalamnya bisa dijumpai tempat seperti untuk menjalankan manasyik haji dan melempar jumrah. Juga bisa ditemui gua Bunda Maria, patung Abraham ketika menyerahkan kurban kepada Allah, patung Nabi Musa ketika menerima Sepuluh Perintah Allah. Atau, replika perjalanan salib dengan patung-patung ala Romawi yang mengingatkan prosesi kesengsaraan Tuhan Yesus sebelum disalibkan, hingga ketika patung Yesus naik ke surga. Semua tertata rapi, terpisah dalam masing-masing areal.

Tak mengherankan jika Taman Wisata Iman itu dikenal sebagai salah satu tempat wisata yang menggambarkan simbol pluralitas atau kemajemukan beragama. "Kemajemukan atau pluralitas merupakan sesuatu yang khas yang tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan. 

Keragaman agama itu bukanlah sesuatu yang kacau. Justru pluralitas agama ibarat pelangi berwarna-warni yang mempunyai keserasian dan keindahan tersendiri," kata Dr Master Parulian Tumanggor, Bupati Dairi, di Taman Wisata Iman, baru-baru ini.

Dialah pemrakarsa pendirian tempat wisata itu, yang pembangunannya dimulai tahun 2000. Di masa kepemimpinannya sebagai kepala daerah, tempat yang dulu hutan belantara itu kini menjadi salah satu tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara. Tetapi, baginya, tujuan utama pembangunan tempat wisata itu bukanlah untuk mengeruk pendapatan asli daerah (PAD).

"Yang terpenting dari tempat ini adalah untuk meningkatkan kualitas iman masing-masing penganut ajaran agama. Harapan saya dengan melihat itu semua, dapat menghilangkan fanastisme sempit akan suatu agama, dan semakin saling menghargai dan memahami perbedaan beragama. Siapa yang datang ke sini, kualitas iman masing-masing meningkat," tutur Tumanggor.

Kegundahan
Ide pembangunan taman wisata itu diakuinya berangkat dari kegundahan yang dirasakannya ketika melihat kerukunan umat beragama di Indonesia mengalami tantangan yang berat. Ketika itu agresivitas massa bernuansa SARA (agama) di sejumlah daerah meningkat selama beberapa tahun terakhir pascakejatuhan rezim Orde Baru. 

"Ada kegundahan ketika melihat sebagian masyarakat dapat terprovokasi dengan fanatisme sempit terhadap agama masing-masing. Padahal selama ini masyarakat kita yang majemuk bisa hidup berdampingan. Seperti ada sesuatu yang hilang yang saya rasakan," katanya.

Selama ini, Tumanggor menjadikan nilai-nilai agama merupakan tulang punggung yang mengisi kehidupannya dan keluarganya. Pria kelahiran Tigalingga, 31Oktober 1950 itu aktif dalam kegiatan keagamaan, seperti menjadi naposobulung (pemuda gereja). Hal itu didukung latar belakang ayah Tumanggor yang mengabdikan diri menjadi pengurus gereja selama 42 tahun di Padang Bulan, kota Medan, Sumatera Utara.

Meski demikian, hal itu bukan membuat suami dari Supri Hetty itu berpandangan sempit terhadap agama yang dianutnya. Ketika menjalani pendidikan S-2 dan S-3nya di Paris, Prancis, misalnya, dia bahkan kerap berdoa maupun mengunjungi lokasi wisata ziarah umat Katolik di Lourdes, Perancis Selatan. Tentu waktu itu dia masih belum menjabat sebagai Bupati Dairi. Dia masih berkarier di Departemen Keuangan RI.

"Sejak kecil, orangtua saya telah menanamkan pemikiran kepada kami untuk hidup saling menghargai adanya sebuah perbedaan, karena pada dasarnya tujuan agama adalah sama. Sementara lingkungan tempat tinggal kami sejak dulu telah berbaur dihuni oleh beragam etnis dan agama. Sehingga melihat sebuah perbedaan bukanlah menjadi sesuatu yang langka dan diperdebatkan yang benar atau yang salah," kata ayah empat anak itu, yakni Binsar Edward (27), Evelyne (25), Franc (21), dan Catherine (10).

Baru setelah menjabat sebagai Bupati Dairi ide membangun Taman Wisata Iman itu muncul, dengan cara tidak sengaja. Ide itu muncul ketika pria yang hobi jogging pada sore hari itu pada suatu ketika tertarik melihat perbukitan Sitinjo yang sering dilaluinya. Rasa keingintahuannya menjelajah bukit itu mendadak muncul. "Karena penasaran, saya bersama ajudan masuk ke dalam bermodalkan golok. Awalnya masyarakat Dairi menganggap saya ini aneh. 

Mereka mengira jangan-jangan saya berguru mencari ilmu di atas puncak bukit. Soalnya tempat itu awalnya memang masih hutan belantara, belum ada jalan, belum ada apa-apa," ujarnya.

Sesampai di puncak bukit, Tumanggor merasakan keteduhan tatkala menikmati panorama alam dengan udara pegunungan yang sejuk diperkaya dengan pemandangan aktivitas penduduk yang terpampang jelas dari atas bukit. "Di tempat itu saya merasakan Tuhan benar-benar ada. Tak tahu bagaimana, ide membangun Wisata Iman itu tiba-tiba muncul. Pikiran saya, bagus juga kalau dibangun simbol-simbol semua agama di atas bukit ini. Kemudian saya berdoa kepada Tuhan meminta tolong memimpin saya membuat ini," ia menambahkan.

Tumanggor lalu meminta seluruh stafnya mengumpulkan tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh pemuda, sepulang dari bukit tersebut. Dia meminta pendapat mereka, setuju atau tidak seandainya membangun wisata iman dari lima agama di Bukit Sitinjo. Tidak terduga, tidak seorang pun menolak idenya.

Tanpa menunggu waktu lama, hari selanjutnya pembangunan dilaksanakan. Sebagian dana diambil dari dana APBD kabupaten dan APBD provinsi. Selain itu, tidak sedikit pula bantuan dari pengusaha maupun pejabat, baik lokal maupun nasional yang berwisata ke tempat itu.

Tantangan
Tumanggor mengakui merambah "sesuatu" yang sensitif. Dia pun menghadapi berbagai tantangan, namun akhirnya dapat melaluinya dengan baik. "Kalau takut, tidak. Karena tidak ada satu agama pun yang merasa dikecilkan di sini. Lagi pula, saya merasa punya 'beking' yang hebat di sini. Soalnya lima-limanya saya bangun. Apalagi tujuannya yang baik," katanya, sambil tersenyum.

Ia pun mengaku pernah ditegur pemuka agama yang tidak setuju melihat penempatan-penempatan dari bangunan atau patung-patung. "Mula-mula saya diprotes pemuka agama Kristen yang mempertanyakan kenapa mesti meletakkannya di daerah tebing yang berliku-liku. Ternyata, ketika sudah jadi, justru tampak lebih hidup karena dapat menggambarkan sesuai dengan perjalanan salib," kata Tumanggor.

Muncul pula teguran dari kalangan pemuka agama lain yang mempertanyakan perbedaan banyaknya bangunan di masing-masing lokasi. tempat wisata. Tantangan lain dihadapi Tumanggor ketika tiba-tiba muncul isu yang merembet ke SARA setelah serombongan pengunjung beristirahat sambil makan siang di samping masjid. Isu menyebar cepat bahwa pengunjung membawa makanan yang diharamkan umat Islam.

"Saya sempat bingung. Soalnya ada aturan pengunjung tidak boleh membawa makanan yang diharamkan. Ternyata, gara-gara kotak nasi yang ditinggalkan itu dibaca oleh warga "makanan khas Celeng". Tanpa dicek terlebih dulu, berita itu langsung disebarluaskan. Kami mengecek hingga ke Sibolga. Kemasan nasi kotak itu ternyata rusak terkena air hujan. Nasi kotak itu bikinan rumah makan Geleng Sibolga, yang menjual makanan halal," kata Tumanggor, sambil tertawa.

Kini di masa pertengahan tugasnya sebagai Bupati Dairi dua periode, Tumanggor masih menyimpan impian indah bagi Taman Wisata Iman yang hingga kini belum berhasil diwujudkannya. "Angan-angan saya adalah bagaimana tempat ini menjadi tempat penyembuhan iman korban-korban narkoba. Jadi pemerintah membeli tiga hektare lagi. Saya harapkan nantinya di situ didirikan tempat rehabilitasi untuk korban-korban narkoba. Tetapi pendekatannya dari keimanan," katanya.

Tumanggor juga berencana membuat website untuk tempat wisata itu. Di situ ia bisa menjajakan bibit pohon kepada kalangan yang ingin membelinya dan kemudian menanamnya di Taman Wisata Iman. "Pohon itu kemudian diberi sertifikat seusai nama pembeli. Tujuannya selain menarik minat pengunjung, sekaligus menjaga alam lingkungan sekitar yang merupakan ciptaan Tuhan agar lestari," katanya.

"Kami jamin pohon itu tumbuh. Jadi suatu saat ketika cucunya datang, pohon itu tetap ada. Itulah mimpi saya," kata Tumanggor. [Pembaruan/Henry Sitinjak]

No comments:

Post a Comment